Nikah Muda



Saat ini banyak sekali kita temukan dan banyak sekali yang membahas dengan topik “Nikah Muda” tentu saja hal ini menjadi topik yang hangat dibicarakan.

Sebagian kalangan menyetujui nikah muda dengan dasar menghindari zina dan sebagian kalangan lain tidak menyetujui  nikah muda dengan dasar usia yang belum matang dan dirasa belum mampu membina rumah tangga.  Tidak ada yang salah dengan pendapat masing-masing. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa niat dari menikah dan kesiapan adalah hal penting dalam memutuskan menikah. Jika niat untuk beribadah dan menjaga diri dari yang diharamkan Allah dibarengi dengan kesiapan dari segi mental, pemahaman hak dan kewajiban suami/istri, memenuhi syarat dan rukun menikah, penguasaan ilmu rumah tangga, tentu pernikahan tersebut  dapat dianjurkan meskipun dari segi usia tergolong muda namun muda tetap sesuai batasan usia yang ada.  Akan tetapi, jika menikah hanya karena mengikuti trend nikah muda dan tidak memahami apa makna menikah yang sebenarnya tentu pernikahan tersebut tidak dianjurkan.

Sebagaimana hadits No. 993 dalam kitab Bulughul Maram.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Beliau menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” Muttafaq Alaihi.

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam menikah adalah hak dan kewajiban suami/istri:

Sebagaimana penjelasan dari Al Habib Segaf Baharun, M.H.I  bahwasanya Istri yang shalehah adalah istri yang melaksanakan semua hak suaminya, hingga menjadikan hak-hak suami sebagai hal yang paling penting, setelah hak Allah dan Rasul-Nya. Adapun di antara hak-hak suami terhadap istrinya yang harus dipenuhi adalah:

1. Sang istri mendahulukan hak suaminya melebihi hak keluarganya, karena hak suami adalah hak yang paling besar setelah hak Allah dan Rasul-Nya.

2. Sang istri selalu siap sedia untuk melayani permintaan bersenggama dari suaminya, dengan selalu tampil cantik dan menawan sehingga membuat suami selalu tertarik kepadanya. Bukan sebaliknya, bermalas-malasan berhias diri, karena hal itu dapat dikatakan sebagai penolakan atas ajakan suami secara halus. Apalagi jika seorang istri terang-terangan menolak ajakan suami untuk bersenggama, itu adalah dosa besar, berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ (رواه البخاري ومسلم)
Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu dia menolak sedangkan suami itu marah terhadapnya, malaikat akan melaknatnya sampai pagi (HR Bukhari dan Muslim).

Hak yang satu ini adalah yang paling penting di antara hak-hak suami terhadap istrinya. Banyak terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan hal itu. Oleh karenanya, penting kiranya bagi seorang istri mencermati hal yang satu ini. Terkecuali jika ia menolak ajakan suami ketika sedang haidh, nifas, atau sakit, itu tidaklah mengapa.

3. Sang istri tidak berpuasa (sunnah) kecuali dengan izin suaminya, berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ “لاَ يَحِلُّ لِإِمْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ (رواه بخاري ومسلم)
Tidak diperbolehkan bagi seorang istri berpuasa sementara suaminya ada, kecuali dengan izin suaminya (HR Bukhari dan Muslim).

Karena dengan puasanya istri, hal itu akan mencegah suami bersenang-senang dengan istrinya pada siang hari, padahal itu merupakan haknya. Terkecuali jika puasa yang dilaksanakan istri itu adalah puasa wajib dan tidak ada waktu lagi untuk melaksanakannya kecuali hari-hari itu, misalnya seorang istri mempunyai utang puasa Ramadhan tujuh hari, padahal bulan Ramadhan tinggal tujuh hari, maka tidak boleh seorang suami melarangnya berpuasa.

4. Sang istri tidak memberikan sesuatu dari rumahnya yang menjadi milik suaminya tanpa izinnya, walaupun untuk keluarganya. Kalau hal itu dilakukannya, si istri berdosa, sedangkan pahala sedekahnya adalah bagi suaminya.

5. Sang istri wajib menaati semua perintah suami, selama bukan dalam hal maksiat. Tidaklah wajib seorang istri menaati suaminya jika perintah itu merupakan perbuatan dosa.

6. Bersikap baik terhadap suaminya dan haram seorang istri berteriak di depan suaminya atau bermuka masam terhadapnya.

7. Sang istri tidak keluar dari rumahnya tanpa izin suaminya, walaupun ke tetangganya atau bersama mahramnya, begitu pula tidak boleh bekerja di luar kecuali jika suaminya mengizinkan.

8. Sang istri harus qana’ah (sifat menerima) dengan apa yang diberikan suaminya, baik sedikit maupun banyak. Istri harus menerimnya dengan senang hati, dan tidak menuntutnya dengan sesuatu yang tidak mampu didapatkan suaminya, karena hal itu bisa berakibat si suami melakukan hal yang tidak diridhai Allah SWT.

9. Sang istri tidak membuka auratnya kecuali untuk suami dan mahramnya, termasuk memakai baju yang ketat, karena secara tidak langsung akan memperlihatkan bentuk tubuh dan auratnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَخْلَعُ اِمْرَأَةٌ ثِيَابَهَا فِيْ غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ هَتَكَتِ السَّتْرُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا (رواه الترمذي وأبو داود)
Tidaklah seorang wanita melepas pakainnya selain di rumah sendiri, kecuali ia telah melepas kehormatan dan kemuliaan dari sisi Allah SWT.

10. Sang istri tidak sombong dengan kecantikannya terhadap suaminya dan tidak mengejek kejelekan suaminya jika memang adanya demikian. Begitu pula seorang istri tidak sombong dengan hartanya jika dia lebih kaya dari suaminya, tapi justru dia selalu menyanjungnya dan menjaga perasaannya.

11. Menyayangi anak suaminya, baik darinya maupun dari madunya, dengan menjaganya, mendidiknya, dan tidak mengumpat mereka dengan kata-kata yang tidak baik, apalagi dengan melaknatnya, karena ucapan seorang ibu merupakan doa untuk anak-anaknya, baik ucapan yang baik maupun yang buruk.

Sedangkan kewajiban suami, penjelasan diambil dari artikel keluarga islami, sebagai berikut:
  1. Menjadi pemimpin anak isteri di dalam rumah tangga.
  2. Mengajarkan ilmu fardhu ‘ain (kewajiban pribadi) kepada anak isteri  yaitu ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf.
    Ilmu tauhid diajarkan supaya aqidahnya sesuai dengan aqidah ahlussunnah wal jamaah
    Ilmu fiqih diajarkan supaya segala ibadahnya sesuai dengan kehendak agama.
    Ilmu tasawuf diajarkan supaya mereka ikhlas dalam beramal dan dapat menjaga segala amalannya daripada dirusakkan oleh rasa riya’ (pamer), bangga, menunjuk-nunjuk orang lain dan lain-lain.
3.     Memberi makan, minum, pakaian dan tempat tinggal dari uang dan usaha yang halal.
Ada ulama berkata:
Sekali memberi pakaian anak isteri yang menyukakan hati mereka dan halal maka suami mendapat pahala selama 70 tahun.
  1. Menghindari perbuatan zalim kepada anak isteri yaitu dengan cara:
    • Memberikan pendidikan agama yang sempurna. Jika ilmu agama tidak dari anak/istri ada yang tidak lengkap, maka hal ini termasuk zalim.
    • Memberikan nafkah lahir dan batin secukupnya.
    • Memberi nasihat serta menegur dan memberi panduan/ petunjuk jika melakukan maksiat atau kesalahan.
    • Apabila memukul jangan sampai melukai (melampaui batas).
  2. Memberi nasihat jika isteri gemar bergunjing/bergosip, mengomel serta melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perintah agama.
  3. Melayani isteri dengan sebaik-baik pergaulan.
  4. Berbicara dengan isteri dengan lemah-lembut.
  5. Memaafkan keterlanjurannya tetapi sangat memperhatikan kesesuaian tingkah lakunya dengan syariat.
  6. Kurangkan perdebatan dengan istri. 
  7.  Memelihara harga diri / kehormatan istri.

Ketika suami/istri sudah memahami betul hak dan kewajibannya, lalu mereka aplikasikan maka insyaAllah rumah tangganya akan menciptakan Sakinah, mawaddah, rahmah dan barokah. Karena apapun yang sudah menjadi aturan agama maka itulah sebaik-baik aturan. Dan kita bisa lihat sendiri disekitar kita bagaimana kehidupan orang yang menjalankan syari’at dan tidak, manakah yang lebih bahagia kehidupannya, tentu bukan hanya kebahagiaan didunia namun juga diakhirat. Karena sejatinya menikah adalah bagaimana dapat sehidup juga sesurga.



0 komentar:

Posting Komentar